Jumat, 15 Juni 2007

Kearifan Lokal: Solusi Banjir Hulu Mahakam

Kearifan Lokal, Solusi Banjir Hulu Mahakam

Oleh: Parawansa Assoniwora*

”Banjir besar melanda puluhan desa di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat, sehingga memaksa ribuan penduduk untuk mengungsi ke daerah yang lebih tinggi”. Begitulah laporan sebuah media eloktronik nasional beberapa waktu yang lalu. Menurut beberapa sumber yang dimuat diberbagai media cetak lokal, banjir merupakan hal rutin yang terjadi setiap tahunnya di kedua kabupaten ini, namun banjir kali ini merupakan bencana yang terbesar yang pernah ada. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa phenomena alam yang tidak pernah terjadi sebelumnya, kini melanda daerah yang dikenal sebagai ”Paru-Paru Dunia” ini?. Berikut ini, penulis akan melihatnya dalam perspektif kearifan lokal yang, kini, dalam pengakuan dan penerapannya berada dalam titik level terendah.

Modernisasi dan Nilai-Nilai Budaya.

Dalam era otonomi daerah saat ini, di mana-mana, kita melihat terbentuknya lembaga atau organisasi yang mengusung identitas etnic atau kesukuan. Semangat berdirinya pun beragam, mulai dari upaya pelestarian nilai-nilai budaya lokal, sampai pada kepentingan politik untuk memperjuangkan posisi tawar masyarakat adat itu sendiri. Namun, dalam perjalananya, tidak sedikit pula yang terjebak dalam konflik politik elit atau konflik modal. Sekali lagi, apa yang dikorbankan adalah posisi masyarakat adat yang semakin termarjinalkan (terpinggirkan), mejadi komuditas politik atau ”tameng” modal dan kekuasaan politik semata.

Kelompok kepentingan primordial atau kesukuan yang diharapkan dapat menjadi pelopor peningkatan kesadaran masyarakat adat untuk menjadikan nilai-nilai budayanya sebagai pelindung terhadap derasnya arus negatif modernisasi, ternyata juga tidak bisa berbuat banyak. Malahan, munculnya perlawanan atau upaya penyadaran terhadap hak-hak ulayat oleh kelompok-kelompok kepentingan yang lain, justru menjadi alat propoganda bahwa ada kepentingan yang menginginkan masyarakat adat semakin tertinggal.

Adanya perspektif yang melihat modernisasi hanya sebagai sebuah produk, alat atau simbol, dan bukan sebagai sebuah pola pemikiran maju, memang menjadi sebuah persoalan baru. Modernisasi yang dianggap sebagai perubahan dalam penggunaan alat penunjang keseharian, seperti; perabotan elektornik, penampilan yang meniru artis-artis dalam film atau sinetron, menjadikan penyadaran tentang nilai-nilai budaya yang memiliki perspektif keseimbangan alam menjadi hal yang dianggap kuno dan terbelakang.

Padahal, modernisasi tidak mesti harus dengan meninggalkan nilai-nilai budaya masyarakat adat yang terbukti memiliki akar filosofi keseimbangan alam yang sangat memadai. Masyarakat adat yang dalam nilai-nilai budayanya tidak serta-merta menyerahkan aset sumber daya alam kepada pihak lain, tanpa melalui mekanisme adat yang relatif panjang dan mempertimbangkan dampak-dampak negatif keberlanjutan yang kemungkinan bisa ditimbulkannya. Namun, kini, terdapat kelompok kepentingan, yang mengatasnamakan ”kemajuan” masyarakat adat, hanya menjadikan nilai-nilai budaya adat sebagai alat untuk menaikkan nominal harga jual-beli aset sumber daya alam tersebut kepada pihak lain saja.

Banjir dan Kearifan Lokal

Keseimbangan alam yang menjadi akar filosofi masyarakat adat, lambat laun telah ditinggalkan oleh banyak masyarakat adat itu sendiri. Tidak mengherankan apabila, saat ini, terjadi banyak masalah yang dirasakan oleh kelompok masyarakat adat, seperti; hilangnya situs-situs budaya leluhur, hilangnya lahan atau hutan adat yang menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hilangnya penghargaan terhadap nilai-nilai budaya oleh generasi muda, bencana ekologis yang timbul dari hilangnya keseimbangan ekosistem dan lain sebagainya.

Banjir besar yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat merupakan sebuah bukti dimana kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, tidak lagi mendapatkan perhatian. Jika saja banjir yang terjadi selama ini merupakan bencana ekologis yang tidak pernah terjadi sebelumnya, maka diasumsikan bahwa hilangnya kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, beberapa dekade terakhir ini, memiliki korelasi posisif dengan bencana ekologis yang sedang terjadi (dan akan terus terjadi).

Asumsi ini muncul dari petimbangan-pertimbangan; pertama, pengakuan banyak kelompok kepentingan yang mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya banjir adalah karena degradasi hutan yang terjadi di daerah hulu dan aliran sungai mahakam. Kedua, pembukaan lahan sebagai areal industri tambang dan perkebunan sebagai simbol modernisasi masyarakat adat.

Dari dua pertimbangan diatas, maka jika dilihat dari perspektif pandangan hidup (filosofi) masyarakat adat, maka penduduk, yang bisa dikatakan sebagai masyarakat adat, saat ini, banyak bermukim di daerah-daerah hulu dan aliran sungai Mahakam, sehingga hilangnya penerapan nilai-nilai budaya masyarakat adat (lokal) dalam khasanah pengelolaan aset sumber daya alam menjadi salah satu akar pemicu rusaknya keseimbangan ekosistem di daerah hulu dan aliran sungai Mahakam.

Kearifan Lokal sebagai Solusi Bencana.

Jika saja masyarakat adat masih memegang teguh nilai-nilai budaya lokal yang mereka miliki, maka niscaya pengelolaan sumber daya alam tidak akan menimbulkan dampak bencana ekologis seperti saat ini. Harus disadari bahwa nilai-nilai budaya masyarakat adat bukanlah simbol keterbelakangan, melainkan sebuah sistem pola hidup dalam mempertahankan keberadaan (eksistensi) mereka. Apa yang harus dilakukan oleh kelompok kepentingan primordial adalah bagaimana agar kearifan lokal yang tercermin dalam nilai-nilai adat bisa diperjuangkan, agar mendapatkan pengakuan penuh oleh negara.

Penghargaan terhadap nilai-nilai budaya, bukan saja dengan mempelajari tari-tarian, ukiran-ukiran patung atau penguasaan alat-alat musik masyarakat adat, melainkan menyebarkan pola hidup mereka sebagai pandangan hidup agar setiap orang bisa menghargai dan menerima nilai-nilai budaya lokal tersebut sebagai sebuah sistem pola hidup masyarakat tertentu. Karena, tidak ada sebuah budaya apapun di belahan dunia ini yang memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan yang lainnya, karena setiap kelompok masyarakat punya cara sendiri untuk mempertahankan keberlansungan hidupnya. Pertanyaannya adalah mampukah kita saling menghargai sebagai manusia?. Wassalam.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mampukah kita saling menghargai sebagai manusia?? ku kan menggarisbawahi dulu kata2 ini dalam tulisanmu, tp itu hidden argumen aja...

banjir mang sangat terkait dg kondisi hutan di daerah perhuluan yg berarti terkait dg masy. yang berdiam di wilayah itu dalam hal ini masy. adat.
masy. adat dalam mempertahankan kearifan lokal yang mereka miliki sangat rentan pada kepentingan org luar, mereka menyerahkan sumber daya alam yang menjadi nadi kehidupan mereka seringkali dibawah tekanan, dibawah pengaruh bahkan dibawah moncong senjata jadi bukan berdasarkan kesadaran.
kelp2 yg ko blg primordial (yang menjadi primordial krn trauma ataupun krn ada kepentingan) tdk sepenuhnya bisa disalahkan, karena dalam kondisi segala kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat sangat tidak gampang memperjuangkan kepentingan rakyat apalagi kepentingan masyarakat adat yang dalam banyak UU tentang pengelolaan sumber daya alam tidak diakui keberadaannya, contohnya UU kehutanan No. 41/1999

ku ga akan byk terlalu berkomentar, tulisanmu benar tapi terlalu tendensius utk kelp2 tertentu
so...
mampukah kita saling menghargai sebagai manusia?

Unknown mengatakan...

Banjir merupakan masalah masyarakat indonesia no.1 sekarang ini namun tampak mengendap oleh rekayasa-rekayasa politik yang lebih diminati oleh para petinggi kita di pemerintahan dibandingkan menjaga ekosistem lingkungan.
Mau di apa???toh para pemuda pergerakanpun sedikit yang bisa bersuara seperti anda, saya dan kawan-kawan lainnya. sedangkan generasi muda lainnya lebih memikirkan perkembangan mode terbaru...
sepertinya kita harus lebih menyatukan niat dan gerakan kita......
maju bersama akan didengar kawan....
sendiri-sendiri...di dengar juga...namun tak selantang kawan-kawanmu berkumpul dan berorasi....
jadi motivator dan bergerak bersama!!
pasti kita di dengar!!
salam alam...
hormat saya..
dr.kiki/friendster
(myselfkiki@blogspot.com)
(ginapriani@wordpress.com)