Selasa, 19 Juni 2007

Indonesia: “res publica atau res privata”

Indonesia: “res publica atau res privata

*Parawansa Assoniwora

Entah bagaimana Tuhan membaginya, yang pasti bahwa bumi Nusantara mendapatkan bagian kekayaan alam yang sangat berlimpah. Kekayaan ini tersebar di seluruh daratan dan lautan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, baik yang bisa diperbarui seperti hutan, maupun yang tidak bisa diperbarui seperti minyak, emas dan batu bara. Bahkan, kekayaan ini telah menjadi ”magnet” bagi para agressor dari masa ke masa, dari jaman kerajaan-kerajaan sampai jaman reformasi.

Saat ini, berdasarkan karakter penguasaan terhadap sumber daya, negara-negara di dunia bisa di bagi kedalam dua kelompok. Yang pertama adalah negera-negara kaya dan yang kedua adalah negara-negara miskin atau negara-negara yang sedang berkembang. Salah satu karakter dasar negara-negara kaya adalah kemampuannya untuk mengekspansi negara-negara miskin atau negara-negara yang sedang berkembang. Tujuan ekspansinya adalah untuk menguasai, bukan saja kekayaan alamnya, tapi juga menguasai cara berpikir dan bertindak (hegemoni kultur) warga negara di negara-negara miskin dan berkembang.

Indonesia, sebagai sebuah negara yang berada pada kelompok kedua, juga tidak luput dari agenda negara-negara kaya, seperti Amerika, Inggis, Francis dan sekutunya yang lain, untuk melakukan penguasaan terhadap sumber daya yang ada di negeri ini. Lihat saja misalnya, penguasaan terhadap sumber-sumber kekayaan alam, mulai dari emas, batu bara, minyak bumi, nikel, dan sumber alam lainnya, semua berada di tangan para pemilik modal asing, baik di hulu maupun di hilir.

Liberalisasi: Sebuah Solusi?

Melihat aset sumber daya yang semua telah hampir dikuasai oleh pemilik modal swasta (khusunya pemilik modal asing), memunculkan pertanyaan, bagaimana dengan nasib rakyat di negara ini? Dimana letak kedaulatan mereka? Setiap kali pertanyaan ini muncul, maka jawaban yang sering dilontarkan oleh para meneger (birokrasi) negeri ini adalah ”bahwa semua ini demi kesejahteraan rakyat”.

Bagi mereka, liberalisasi aset sumber daya ke dalam sistem ekonomi pasar, adalah solusi untuk membuka peluang lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja yang setiap tahunnya mengalami peningkatan, baik tenaga kerja terdidik maupun yang tidak terdidik. Secara logis, pendapat ini tidak salah, namun persoalan lapangan pekerjaan hanyalah satu dari sekian banyak faktor penyebab kemiskinan di negeri ini.

Kemiskinan juga bisa dilihat dari sudut pandang rusaknya keseimbangan ekosistem, kurangnya akses terhadap sumber daya, rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan, tingginya tingkat korupsi atau kejahatan sistemik dalam pemerintahan dan terjadinya ledakan penduduk.

Faktanya, proyek liberalisasi, sampai saat ini, tidak memperlihatkan hasil yang signifikant terhadap perbaikan kondisi ekosistem. Munculnya berbagi macam kasus, seperti kasus lumpur panas Lapindo, kasus limbah tailing dan merkuri di Papua dan Buyat, rusaknya ekosistem pesisir di beberpa pulau perbatasan Indonesia-Singapura, munculnya kubangan-kubangan (danau-danau) limbah pasca tambang batu bara di beberapa propinsi Kalimantan dan Sumatera, adalah bukti nyata kerusakan ekologis yang ditimbulkan oleh legalisasi negara terhadap penguasaan sumber daya alam ke tangan swasta.

Tidak itu saja, hilangnya mata pencaharian masyarakat, seperti musnahnya beberapa species tumbuhan dan binatang, oleh aktifitas industri ekstraktif, yang menjadi tumpuan hidup masyarakat di sekitar hutan, menjadi penyebab hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi mereka.

Fakta-fakta ekologis dan sosiologis yang muncul sebagai persoalan dalam proyek liberalisasi, tidak mampu dijawab oleh peran swasta dalam mengurangi, apalagi menghilangkan, tingginya angka kemiskinan di negeri ini. Justru, munculnya lapangan pekerjaan oleh peran swasta memunculkan bentuk kemiskinan baru di tengah masyarakat. Beitulah dampak dari solusi pembangunan (developmentalism) yang tidak memiliki perspektif keberlanjutan (sustainable perspective).

Res publica atau res privata?

Berpijak pada pengistilahan bangsa Romawi yang telah menetapkan res publica, yang secara harfiah berarti ”urusan rakyat”, sebagai kebalikan dari res privata, yang artinya ”urusan privat/swasta”, maka di sini, penulis akan memaparkan beberapa hal tentang urusan rakyat dan swasta dalam konteks kenegaraan.

Pengistilahan ”republik” adalah pengistilahan politik. Mungkin, begitulah kesimpulan kita, jika membaca sejarah munculnya pengistilahan ini di jaman Yunani dan Romawi Kuno. Dan, jika ditarik dalam terminologi hukum-politik ketatanegaraan, seperti yang terdapat dalam UUD 1945, bahwa republik sangat kuat dengan pemaknaan ”kedaulatan rakyat”. Bahwa makna negara Republik Indonesia adalah kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat Indonesia.

Begitu hebatnya makna dari sebuah negara ”Republik”, maka tidak mengherankan apabila segala sesuatu yang menyangkut tentang ketatanegaraan harus menjadi ”urusan rakyat”. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sejauh mana rakyat terlibat dalam urusan ketatanegaraan di Indonesia saat ini?

Pemilihan Umum dianggap sebagai salah satu bentuk pengakuan kedaulatan rakyat dalam sebuah negara yang berbentuk republik. Di Indoensia, Pemilihan Umum tidak hanya untuk memilih anggota legeslatif yang duduk di parlemen saja, tapi juga untuk memilih eksekutif, seperti Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota. Yang nampak, bahwa urusan negara sudah menjadi urusan rakyat.

Faktanya, rakyat hanya dilibatkan dalam proses pemilihan umum saja. Namun, dalam menentukan kebijakan, peran rakyat hampir dihilangkan sama sekali. Dalam isu pengolahan sumber daya misalnya, masyarakat tidak mendapat akses untuk terlibat dalam menentukannya. Tidak mengherankan apabila yang muncul adalah penguasaan aset sumber daya oleh pihak swasta (khususnya pihak asing). Selain itu, sering kali kebijakan yang dibuat pemerintah, justru tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Fakta ini memberikan gambaran, betapa hak politik rakyat telah dikebiri dan disalahgunakan oleh wakil-wakil mereka yang duduk di pemerintahan.

Kesimpulan

Melihat fakta-fakta di atas, negara kita belum mempraktekkan bentuk negara Republik yang sebenarnya, karena peran swasta/privat masih jauh lebih kuat dibandingkan dengn peran publik. Liberalisasi hanya semakin memperkuat peran swasta dalam mengatur urusan-urusan penting dalam sebuah negara. Jika hal ini menjadi acuan dalam dunia ekonomi-politik negara kita, maka Indonesia tidak lagi berbentuk negara Re-Publik (res publica) Indonesia, melainkan berbentuk negara Re-Privat (Res privata) Indonesia.

Untuk menyelamatkan aset sumber daya bangsa yang ada, maka saatnya kita harus mampu membangun keterlibatan rakyat dalam segala urusan bernegara. Rakyat, yang dominan di sektor ekonomi riil dan di sektor pekerja industri, harus menjadi kekuatan politik dominan yang muncul untuk menentukan arah bernegara kita kedepan. Menyelesaiakan persoalan rakyat tanpa memikirkan keberlanjutannya akan berdampak pada munculnya persoalan-persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Wassalam.

Penulis:

Direktur

Justice, Equality and Freedom Foundation

East Borneo

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ass, mas ancha yang baik hati...
duuh bahasan yang ditulisnya kok mirip orasinya presiden soekarno ya heheh (ups just kidding-red)..
bagus mas pemaparannya meskipun aby gak terlalu ngerti dunia politik yang mas jabarin tadi.
jadi sedikit ngerti tentang negara sendiri??? (mmm jadi mikir mo benahin negara ini hehehhe)

anyway jurusan kuliah sastra or sisologi sih mas???
tapi kok alirannya lebih kentel ilmu politik nya ya???

doesn't matter jurusan apa yg diambil....tetep kok dukung usahamu mengejar cita2 cieee...
ngomong2 cita2 mu apa ya???? =)