Sabtu, 10 Juli 2010

"Trust" Warga Negara

by: Parawansa Assoniwora

Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika dan India. Dengan julukan tersebut, Indonesia menjadi “magnet” bagi banyak scientist (ilmuwan) dunia untuk mempelajari perubahan sosial-politik di Indonesia karena dianggap memberikan konstribusi pada proses evolusi demokrasi sebagai sebuah sistem yang telah dianut oleh banyak negara di dunia ini. Paling tidak, ini adalah salah satu sumbangsih bangsa kita terhadap majunya peradaban dunia, walau sebatas sebagai laboratorium sosial saja.

“Jantung” dari demokrasi ditentukan oleh bagaimana hubungan antara negara dan warga-negara. Dengan kata lain, sistem yang berjalan akan disebut demokratis jika warga-negara memiliki andil dan dukungan yang besar dalam menentukan haluan kebijakan sebuah negara. Ini alasan utama mengapa di negara-negara maju yang demokratis, seperti Amerika, persoalan trust (kepercayaan) warga-negara terhadap pemerintah, sebagai pemegang otoritas yang akan menjamin kelangsungan hidup warga-negara, menjadi sangat penting dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jalannya sistem pemerintahan yang baik.

Demokrasi “semau gue”

Sejak runtuhnya rezim otoriter orde baru lebih dari satu dekade yang lalu, wajah negeri ini telah berubah total. Setiap saat, dimana saja, orang bebas berbicara, mengkritisi, bahkan mencaci pemerintah tanpa dianggap melakukan kejahatan terhadap negara. Belum lagi hampir setiap hari, ada saja kelompok masyarakat yang melakukan aksi tuntutan untuk hak-hak mereka yang belum diberikan. Sedangkan di parlemen, para wakil-wakil rakyat bersemangat untuk tampil beda, sehingga nampak (walaupun mungkin tidak) wajah institusi perwakilan rakyat yang dinamis.

Namun, banyak kalangan yang menganggap, demokrasi kita kebablasan. Tidak heran, demokrasi seolah-olah mengalami pergeseran makna menjadi protes, intrupsi, pilkada, blokir-jalan, pemekaran, konflik penguasaan sumber daya alam, dan lain-lain. Jika ditanya kenapa seperti itu, maka jawabannya adalah ini demokrasi. Kata demokrasi telah memiliki makna baru “semau gue”.
Pergeseran makna demokrasi tidak lepas dari kegagalan pemerintah. Pemerintah yang seharusnya mampu menjamin keadilan, keamanan dan ketertiban, menciptakan kesejahteraan bersama, dan kebebasan dengan kontrol sosial yang kuat antara warga-negara, belum juga terwujud. Akibatnya, masyarakat atau warga-negara lebih suka bertindak sendiri dan cenderung berbeda, atau justru bertentangan, dengan sikap pemerintah.

Pemerintah dan masyarakat yang seharusnya berjalan searah dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur, sesuai dengan amanat konstitusi, justru bertemu pada titik yang berbeda. Celakanya lagi, yang terjadi kemudian adalah sikap saling menyalahkan.

“Trust”

Di negara-negara maju, seperti Amerika, Inggris, Kanada dan Australia, kepedulian scientist (ilmuwan) terhadap hubungan pemerintah dan warga-negara menjadi topik pembahasan yang penting, atau bahkan urgent (mendesak). Mereka sangat menyadari, misalnya, rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, akan menjadi ancaman internal terhadap sistem pemerintahan yang sedang berjalan karena mengurangi legitimasi kekuasaan yang ada. Akibatnya, ini bukan saja akan merugikan pemerintah, namun juga pelayanan pemerintah terhadap warga-negara tidak akan berjalan dengan maksimal.

Tidak heran jika kemudian di negara-negara tersebut, pemerintah mengalokasikan dana yang cukup besar bagi para ilmuwan untuk melakukan penelitian mendalam mengenai persepsi atau kepercayaan masyarakat terhadap program-program pemerintah atau kepercayaan terhadap prosedur tata pemerintahan yang sedang dijalankan.

Sayangnya, tradisi yang sama tidak terjadi di negara ini. Sangat sulit menemukan data-data atau informasi-informasi penelitian, misalnya Longitudinal Research, yang memaparkan bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia secara holistic (utuh) dari waktu ke waktu terhadap pemerintah, baik struktur, aparatur, program, dan kebijakan. Begitupun dengan instrumen-instrumen demokrasi, seperti aktor politik, partai politik, pemilu dan lain-lain. Seolah-olah, “trust” menjadi missing link dalam hubungan pemerintah dan warga-negara, sehingga semua pihak kesulitan untuk menemukan titik masalah utama yang melanda bangsa ini.

Kuatnya dominasi pemerintah dalam menjalankan kebijakan, yang tidak sesuai dengan keinginan (atau mungkin hanya karena tidak dipahami) masyarakat melahirkan kesenjangan hubungan pemerintah dan masyarakat. Belum lagi banyaknya masalah yang dihadapi pemerintah, seperti penggelapan pajak, mafia hukum dan kehutanan, kasus century, korupsi dan lain-lain, semakin memperdalam kesenjangan tersebut. Kesenjangan ini bisa saja melahirkan gerakan sosial, misalnya, pemboikotan pajak atau pemilu, yang semakin menghambat proses demokrasi yang sedang berjalan. Sejatinya, pemerintah harus mulai melakukan instrospeksi diri, dengan menggali kepercayaan atau persepsi masyarakat terhadap apa saja yang telah dan sedang dilakukannya. Paling tidak, ada dua pertanyaan kunci yang kemudian harus terjawab, what is going on? dan why is it going on?.

Tujuannya, dengan menjawab dua pertanyaan tersebut, pemerintah akan memiliki logistic baru dalam membuat strategi-strategi arah kebijakan yang memperoleh dukungan dari masyarakat. Saya yakin, apa yang terjadi saat ini, seperti persoalan terorisme (yang sering dianggap sebagai persoalan idiologis), kerusuhan Koja, dan lain-lain, hanyalah pada persoalan “trust” warga-negara. Jika kepercayaan masyarakat tinggi pada, dan apa yang dilakukan oleh, pemerintah menuju cita-cita luhur bangsa ini, maka pemerintah dalam menjalankan sistem pemerintahan akan memperoleh dukungan dari masyarakat. Sekali lagi, ini hanya persoalan “trust”. Sudah saatnya, kita memahami diri kita sendiri, bukan justru orang lain yang lebih memahami kita.

Tidak ada komentar: